Isnin, Julai 05, 2010

Issues in Education System

Muhyiddin has his hands full

ON THE BEAT
By WONG CHUN WAI


The Education Minister has to tackle a lot of issues in the present education system, besides deciding on whether to abolish exams.
LET’S not rush into abolishing the Ujian Pencapian Sekolah Rendah (UPSR) and Penilaian Menengah Rendah (PMR) examinations until we’ve heard the views of everyone. The issue is not about whether the majority wants it but what’s the right thing to do even if it was the minority’s views.
It is reassuring to hear from Education Minister Tan Sri Muhyiddin Yassin that he would hold a round-table discussion to allow stakeholders to deliberate on whether the two examinations should be scrapped.
He has said the views of all quarters including teachers and parents had been gathered, adding that he had received overwhelming response to the proposal to replace the two public examinations with a school-based assessment system.
Muyhiddin is right in stating that the consensus among Malaysian parents is that our students are overloaded with examinations. The schoolbags have been getting heavier. The media have already reported on how these bags could damage the backs of our students but nothing much has really changed.
Most parents would agree that the fun has been taken out of schooling. Students have little time for anything after school except tuition classes while sports is hardly on the priority list.
Yet, there seems to be some apprehension over the proposal to do away with the two exams.
Really, a Year Six student should not be facing exam pressure at that age. In most countries, and especially those in Europe, taking exams at an early age is unheard of.
This uncertainty among parents could be due to the fact that they have seen so much backtracking – a more polite word for flip-flop decisions – in the past.
Every new Education Minister seems to be eager to leave their mark behind and even if their decisions come with the best of intentions, they could be disruptive to our students if they are changed every few years.
We have tried teaching Mathematics and Science in English. Every politician seems to have commended the move when it was implemented but these same politicians would find more reasons to argue against it later. It makes Malaysians wonder why these politicians did not have the hindsight of all these arguments before the decision was made.
So, the students are now back to square one – learning these two subjects in their mother tongues.
When Datuk Seri Anwar Ibrahim was Education Minister, he imposed the tongue-twisting Bahasa Baku. Every newscaster seemed eager to please Anwar then with the best and correct pronunciation, even if an hour after the news bulletin, P. Ramlee was speaking a different kind of Bahasa in a movie.
Muhyiddin could be right. Without these exams, the media could stop highlighting the top scorers. Over the years, the media have in fact started to feel that we should not be promoting such an exam-oriented culture.
So many Malaysian students seem to be able to score so many distinctions that many are asking whether their strings of As accurately reflect their capabilities. Many employers who have interviewed these scorers have the right to be sceptical because for many a distinction in English for the Sijil Persekolahan Menengah (SPM), for example, is really a D in the days of the Malaysia Certificate of Education (MCE) of the 70s.
Put simply, our standards have plunged. We have compromised on our grading. Many school leavers and graduates are unable to speak and write proper English but they believe they are proficient because they have passed the exams.
Worse, there is a false sense of confidence and hope among our students, thus the demand for places in universities.
Many students seeking to enter international schools in Malaysia and boarding schools overseas have found themselves failing the entrance examinations. This has come as a rude jolt because many of them are from well-to-do families and speak English at home.
The entry point into a prestigious British university such as Oxford, the London School of Economics or the University College of London is only a maximum three distinctions. They do not need a Malaysian with 14As but the rules are rigid and the standards high.
There is also a serious lack of analytical and communications skills among our students but that is also partly because our teachers, the product of our education system, have failed miserably in these areas.
Many students are ill-prepared for working life, unable to write a proper e-mail to apply for a job or to express oneself at interviews. Many employers in the private sector have long expressed their frustrations and alarm at this state of affairs.
Muhyiddin is aware of these problems. It would appear that he wants to end the examination culture, the long teaching hours, the endless tuition classes and homework.
The education system seriously needs fixing. This could be a first step but he needs to clearly comb out the problems, point out the priorities and tackle them one by one because there is so much that is wrong with the system.
Malaysians want him to succeed, to get it right, so that there will be no need to shift gear midway. It is all right to seek more views before implementing them because our students should not be guinea pigs for any decision.

Isnin, Jun 28, 2010

Dakwah satu Perjuangan Sepanjang Zaman

Dakwah satu Perjuangan Sepanjang ZamanPDFPrintE-mail
Hasil Nukilan oleh Hj Nik Mohd Yusoff Nik Ismail,
Yang Di Pertua Wadah Pencerdasan Ummah, (Wadah) Selangor

Dakwah satu perjuangan sepanjang zaman
Memenuhi tuntutan-tuntutan tuhan
Sebagai 'abdillah yang beriman
Sebagai khalifah yang berkebajikan..

Dakwah itu bermakna pengorbanan
Melalui harta takhta serta pengalaman
Melalui masa dan daya pemikiran
Kebijaksanaan dan garis pedoman..

Dakwah itu bererti qudwah hasanah
Membangun diri jangan punah
Memurnikan rohani secara istiqamah
Daya fikir penggerak wadah..
Dakwah itu tarbiyyah
Mendidik dan melatih
Sehingga menjadi insan terpilih
Dipuji malaikat doa terpilih..
Dakwah itu ibadah
Meliputi segala liku dan wilayah
Dari peribadi hingga ke pemerintah
Melalui uslubul-hasanah..

Dakwah itu istiqamah
Istiqamah atas jalan yang diamanah
Menepis segala hasutan iblis pemusnah
Agar perjuangan tidah punah-ranah..

Dakwah itu kesabaran
Sabar itu separuh daripada iman
Mencari ilham dalam ancaman
Begitulah pendakwah budiman..

Dakwah itu jihad
Menegak kebenaran penuh tekad
Aufu bil 'uqud!
Aufu bil 'uqud!

Dakwah itu 'amal-jamaii
Bermuafakat sesama sendiri
Bersyura menepati peraturan Ilahi
Agar segala diberkati..

Dakwah itu kepimpinan
Kepimpinan itu satu penderitaan
Bukan anugerah kenalan
Atau hadiah buat si polan..

Dakwah itu kaya akhlak
Jiwa diasuh diri tak rosak
Dipegang teguh sampai layak
Menjadi insan bukan perosak..

Dakwah itu penyebaran
Wlaaupun cuma satu ungkapan
Bermula dengan diri hingga ke teman
Tanpa mengenal benua dan sempadan..

Dakwah itu amar makruf nahi mungkar
Yang Makruf jangan diengkar
Yang mungkar jangan dibiar
Agar umat menjadi segar..

Dakwah itu keadilan-kebenaran
Apa erti perjuangan tanpa kebenaran
Apa erti perjuangan tanpa ke'adilan
Keadilan teras keamanan..

Dakwah itu nasihah
Membimbing umat dengan susah payah
Bersaksikan qudwah hasanah
Dilaksanakan dengan penuh hikmah..

Dakwah itu amanah
Dipegang teguh dengan sungguh-sungguh
Agar terlaksana tanpa tangguh
Segala harapan membawa berkah..

Dakwah itu ujian
Hadapi rintangan dan halangan
Dari lawan dan juga rakan
Itulah fitrah mencari kebenaran..

Dakwah itu tak kenal penat-lelah
Bersedia atau dalam susah
Pantang undur seorang pendakwah
Bak panglima yang perkasa gagah..

Dakwah itu hijrah-perubahan
Bermula dengan niat yang diabadikan
Dengan tingkatkan rohani berteraskan iman
Menghadap wajah dengan Yaa Rahman..

Dakwah itu mulai dari diri
Membangun diri dengan pekerti
Memperbaiki sampai mati
Itulah pejuang sejati..

Dakwah itu muhasabah
Muhasabah diri dengan tabah
Mencari kelemahan elak fitnah
Agar perjuangan menjadi mudah..

Dakwah itu ikhtiar-tawakkal
Ikhtiar sepenuh akal
Mengolah kaedah, uslub yang afdhal
Lalu tawakkal kepada yang kekal...


(Sumber: http://www.mindamadani.my/)

Zina berleluasa

Dalam satu kajian yang dilakukan kepada remaja Melayu bandar dan luar bandar tahun 2009, didapati 300 dari 400 belia berumur antara 13-25 tahun mengatakan pernah melakukan hubungan seks. Ada yang melakukannya seawal sekolah rendah.

Amat mengejutkan bahawa 85% dari mereka yang melakukannya bukan saja tidak merasa kesal, malu atau takut berdosa tetapi mengatakan ianya sebagai pengalaman yang sangat menyeronokkan.

Faktor utama yang menyebabkan keadaan ini bukanlah faktor keluarga bermasalah tetapi adalah disebabkan tarikan kawan2.

Anda tentu merasa ngeri sebagaimana yang saya rasakan kerana kita punya anak, adik, cucu dan mereka akan punya kawan2 yang menjadi penentu utama kepada jenis  peribadi mereka, samada sebagai manusia baik akhlaknya atau sebagai penzina.

Kita menjaga rumahtangga, kita menghantar mereka ke sekolah agama…..seolahnya2 segalanya sudah kita lakukan. Tetapi mereka ditarik oleh rakan mereka yang diluar kemampuan kita mengawalnya.
Tidak pernah kita terbayang bahawa hari ini kita berada di negara kita, di mana 3 dari setiap 4 remaja pernah berzina, dan tidak merasa berdosa dengan perbuatan mereka. Ini bermakna
  1. Anak kita hanya mempunyai 25% saja kawan2 yang masih suci.
  2. Anak kita mempunyai peluang hanya 25% untuk mendapat pasangan hidup bukan penzina.
  3. Majoriti anak yang bakal dilahirkan beberapa tahun dari sekarang adalah anak2 yang mempunyai ibubapa yang pernah berzina.
  4. Anak penzina akan melahirkan zuriat penzina yang lebih tegar.
  5. Amalan zina akan  diterima oleh masyarakat dan orang kan merasa pelik dengan orang yang tidak pernah berzina.
  6. Pengaruh ibubapa dalam membentuk peribadi anak hanya sekelumit kecil.
  7. Ibubapa akan menjadi hamba kepada anak2 dan anak adalah tuan mereka.
Masa itu adakah ruang lagi untuk kita meneruskan kehidupan beragama di bumi tercinta ini????
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Fikrah:-

1) kewajipan untuk berdakwah dan meneruskan pentarbiyahan diri merupakan tanggung-jawab hakiki sehingga akhir hayat. Mana mungkin berasa senang-lenang, dan mampu berasa kebosanan apabila tanggung-jawab lebih banyak dari masa yang ada. Hakikatnya, manusia yang mengaku beragama Islam sendiri sudah hilang arah tuju dengan amalan bersifat ikut-ikutan dan jahil dalam serba perkara. Malah, Islam dilihat hanya rukun yang 5;. tidak lebih dari itu.

2) Kerosakan yang berlaku atas sebab tangan-tangan manusia dan hati-hati yang tidak merasai kebesaran Allah taala dengan hilangnya Iman dalam diri. Pengajaran dalam kisah nabi dan umat terdahulu sedikit pun tidak terkesan dalam hati umat hari ini. Kalau ada pun, hanya sekelumit kecil. Benarlah janji Allah taala yang telah dirakamkan dalam kitab suci Al-Quran, "Beruntunglah orang-orang yang sedikit"

Mana janji yang kita ikrarkan 5 kali sehari semalam?
"Sesungguhnya, solatku, amalanku, hidupku, dan matiku, adalah untuk Allah taala"

atau 

sebenarnya, memang telah ramai umat yang enggan berjanji? dan telah akan janji itu?

Benarlah, "Solat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar"  

Isnin, Jun 21, 2010

Guru tiada masa untuk keluarga

GOLONGAN guru ibarat dian yang membakar diri. Tanpa guru sudah pasti surat atau e-mel ini pun tidak dapat ditulis oleh saya. Ada pandangan sinis mengatakan guru sudah ada cuti sekolah yang panjang sebagaimana murid mereka setiap tahun sedangkan guru perlu bertugas sepanjang tahun bagi meningkatkan pencapaian sekolah dari semasa ke semasa menurut arahan pengetua atau guru besar.

Peranan guru bukan setakat memikirkan masalah murid yang puluhan orang di sekolah, malah ada yang termimpi-mimpi akan prestasi keputusan peperiksaan utama yang bakal keluar kelak. 

Jika prestasi merudum, alamat kelas tambahan akan bertambah-tambah dan masa guru terutama guru wanita dengan anak-anak dan suami akan semakin berkurang pada tahun depan. Pengetua juga perlu memikirkan bagaimana mahu meningkatkan prestasi pelajar pada waktu belajar dari jam 7.40 pagi hingga 2 petang.

Pada ketika penjawat awam lain sedang kelam-kabut menuju ke tempat mesin perakam waktu, guru-guru kita sudah sampai ke sekolah seawal jam 7 pagi lagi. Jika lewat, alamat sesi pembelajaran turut bermula lewat. Apabila setiap Sabtu pun perlu bekerja, apa pula nasib anak-anak dan suami atau isteri yang tidak sempat bersama untuk menghabiskan masa senggang.

Perlu diingat, guru juga seorang ibu dan bapa, juga anak kepada ibu bapanya yang sudah tentu mempunyai tanggungjawab moral dan agama untuk dipenuhi. Namun, jika masa mereka habis di sekolah kelak akan jadi seperti pepatah, ‘yang dikejar tidak dapat, yang dikendong berciciran.’

Maka perlu ada ruang untuk semua guru mendapat cuti setiap Sabtu dua kali sebulan dan setiap pengetua perlu memperkasakan pengajaran di waktu pejabat supaya kelas tambahan dan aktiviti kokurikulum tidak selalu diadakan setiap Sabtu. 


Sewajarnya gelaran sekolah berprestasi tinggi (SBT) tidak menjadi faktor pendesak kepada pengetua dan guru besar untuk memperhebatkan usaha mencapai tahap itu. Ini akan menjadikan guru subjek teras untuk peperiksaan akan lebih tertekan untuk memperbanyakkan kelas dan latih tubi yang akhirnya menjadikan mereka sibuk 24 jam membuat kertas soalan dan modul lebih mesra pelajar. Jika sekolah mencapai tahap terbaik, apa faedahnya kepada guru yang hilang banyak masa dengan keluarga mereka.

Guru juga adalah manusia yang mempunyai had kesihatan tertentu. Jika keringat mereka diperah, takut mereka hilang minat untuk mengajar akibat keletihan fizikal dan minda. Kita sedia maklum ada sekolah aliran lain menetapkan masa bekerja guru mereka dari jam 7 pagi hingga 4 petang. 



Jika Sabtu pun mereka terpaksa bekerja, bayangkan bila mereka dapat mendidik anak sendiri dengan lebih berkesan. Takut nanti kera di hutan kenyang disusukan, anak di rumah merintih merayu untuk mendapatkan perhatian.

Justeru, masanya sudah tiba untuk kita lebih empati dengan masalah guru yang bekerja demi kecemerlangan anak-anak murid mereka. Cabaran SBT perlu disahut oleh pengetua dan guru besar dengan lebih rasional. Memang wujud sekolah yang lemah dalam pencapaian, maka perlu sekolah itu dibantu secara menyeluruh oleh setiap Jabatan Pelajaran daerah dan jangan membiarkan rencana setiap pengetua dan guru besar memberi kesan domino negatif kepada guru-guru yang mempunyai keterbatasan minda dan fizikal.

Cuti memang penting sebagai masa guru melapangkan dada dan fikiran daripada memikirkan masalah di sekolah.

Inilah masa ibu bapa mengambil alih sekejap tugas seorang guru dengan mengajar anak-anak mana yang perlu. Jangan jadikan guru sebagai pengajar sepenuh masa hingga masa rehat mereka turut menjadi mangsa kita.
ABDUL RAZAK IDRIS
Banting





(Sumber :http://www.hmetro.com.my/)


>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Fikrah:
1) Sepanjang masa ibubapa mengharapkan anak-anak mereka dididik oleh guru, sama ada di sekolah, atau di pusat-pusat tusyen. Harapan secara tidak langsung dan tersembunyi adalah untuk anak-anak ada perkara yang positif dilakukan; apabila musim cuti sekolah, yang mana ibu bapa bekerja di luar rumah. Ada juga yang membawa anak-anak ke pejabat apabila musim cuti sekolah.


2) Yang anehnya, ada semacam satu bentuk tugasan atau tanggung jawab sepenuh masa sudah jadi separuh masa (part-time). Kerja sepenuh masa, tapi, ibu bapa separuh masa. (full time workers but part time parents); terutama apabila anak-anak lebih masa bersama kawan-kawan mereka, guru-guru dan pembantu rumah daripada bersama ibu bapa mereka. Ironinya, kerja yang dikejar itu bertujuan untuk kesenangan supaya menjadi ibu-bapa sepenuh masa kelak. 


3) Yang tiada dalam perencanaan, pada waktu kesenangan seperti bakal menjelma, ibu-bapa juga sudah tiada lagi dalam hati mereka. Inilah bebanan dan hasil daripada permasalahan institusi rumah tangga pada hari ini. Akhirnya, berlakulah kerosakan yang dahsyat dalam komuniti dan keseluruhan masyarakat.


4) Guru-guru juga sedar akan hal ini. Waktu mereka untuk bersama keluarga dan sekaligus mendidik umat, seharusnya diberikan ruang dan sokongan yang lebih, bukan semata-mata atas kejayaan anak-anak masing, malah lebih kepada penghargaan dan kualiti yang terbaik dari guru kepada murid semasa proses P&P dalam waktu persekolahan. Bebanan yang tidak perlu disamping sasaran yang tidak munasabah dengan segala macam istilah yang janggal, sememangnya menyusahkan dan tidak menyumbang kepada kualiti insaniah hakiki. Mungkin ia menyumbang kepada orientasi peperiksaan yang gemilang, dengan IQ atau pencapaian akademik yang hebat, namun hakikatnya, murid, atau anak-anak ini kosong jiwanya serta tiada matlamat ukhrawi yang akan membawa mereka menjadi insan kamil yang sebenar.


5) Al-hasil wal-asal, segala kelemahan, kecacatan, dan kebobrokan sosial akan dipalit semula kepada guru-guru yang berhempas pulas bersama dengan murid. Sudahlah kebersamaan dengan keluarga masing-masing semakin berkurang, ditempelak pula dengan sedemikian rupa, akhirnya kerjaya Keguruan akan dilihat semakin lekeh dan tidak dipandang sebagai cita-cita mulia lagi. Maka, akan menanglah agenda Yahudi untuk menjauhkan umat ini dengan ilmu dan kecintaan kepada ilmu. Yang jauh, semakin jauh.... 

abolish UPSR and PMR?

Proposal To Abolish UPSR, PMR Exams Welcomed
KUALA LUMPUR, June 20 (Bernama) -- The proposal to scrap Ujian Penilaian Sekolah Rendah (UPSR) and Penilaian Menengah Rendah (PMR) examinations in the future, well received.

Many felt that abolishing the two exams was appropriate to change the local education system from being exam-oriented.

Federation of Peninsular Malay Students (GPMS) president Jais Abdul Karim said the move would strengthen the education system and produce students who are more focused.

"Our system is too exam-oriented which stresses out the students and they study blindly to pass exams, without understanding its relevance for use in the future," he told Bernama here Sunday.

He was asked to comment on possibilities that the Education Ministry may abolish the UPSR and PMR exams as stated by Deputy Prime Minister Tan Sri Muhyiddin Yassin, who is also Education Minister.

This was following opinions that the existing education system was too focused on exams and failed to give students a more holistic learning experience.

Jais said should they follow through with the proposal, the government would need to formulate a new method or mechanism to measure the achievement of student.

"A lot of goodwill comes from this move and teachers will also have more time to teach students effectively," he said.

Meanwhile, National Union of the Teaching Profession (NUTP) president, Hashim Adnan said UPSR was still relevant and should be maintained, since it helped motivate primary school students to study hard.

However, he agreed with the abolishment of PMR as the exam's sole purpose was to determine which stream students would go to in Form Four.


"The UPSR is relevant as it ranks students and encourages them to do their best so they are more prepared to face secondary school," he said.

Meanwhile, Malaysia Education Service Ex-Officers Association (PBPPPM) liaison officer Abdul Karim Abdullah said the move was appropriate to ensure teachers and students have more time to focus on co-curriculum and sports activities.

"Previously, co-curricular activities and sports took a lot of time and distracted students from focusing on their studies, so this way the students will have more time for both their studies and their extra activities," he added.

--BERNAMA

Khamis, Jun 17, 2010

Sajak Cinta

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
fikrah:-
1) Sajak cinta yang cukup meruntun perasaan dan jiwa, dengan memberi makna sebenar pada perkataan 'cinta'.
2) Dari akar cinta, maka lahirnya bahagia dan sengsara, gembira dan duka, mesra, manja, benci dan dan air mata.
3) Hidup dengan memahami Cinta juga adalah makhluk Allah yang cukup misteri sifatnya, dengan keperluan melengkapi serta menghiasi alam ini.
4) Hanya manusia buta sahaja yang melanggari makna cinta. Cinta yang dibutakan dan dikotori dengan nafsu hasutan syaitan.
5) Cinta yang suci akan menitipkan perjuangan dan pengorbanan. Cinta yang dusta akan menitipkan noda dan dosa.

biasiswa JPA 2009

56 Per cent Of PSD Scholarship For Bumiputera
KUALA LUMPUR, June 16 (Bernama) -- The Public Service Department (PSD) gave out 2,850 scholarships to students to study abroad last year, said a minister in the Prime Minister's Department, Datuk Seri Nazri Abd Aziz.

He said about 56 percent of the scholarships were awarded to Bumiputera students including in Sabah and Sarawak while the rest were awarded to non-Bumiputera students.

Speaking to reporters at the Parliament lobby, Nazri said distribution of the scholarships was based on four categories namely merit, ethnic race, Sabah/Sarawak Bumiputera, and their social background.

For the merit category, he said 59 scholarships (20 percent) were given out to Bumiputera while 241 scholarships (80 percent) were for non-Bumiputera.

For the quota based on racial groups, Bumiputera students received 557 scholarships compared with 343 for the non-Bumiputera.

Another 150 scholarships were given out to Sabah and Sarawak Bumiputera while 1,500 scholarships were given out based on the recipients social background -- 841 scholarships for Bumiputera and 657 for non-Bumiputera.

"If based on merit, only a few Bumiputera succeeded in getting the scholarship, thus, next year, Bumiputera students need to study harder," Nazri said.

-- BERNAMA

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Fikrah:
1) 20% for Bumiputera on Merit based, means the level of standard of the bumiputera's students still in critical condition. Thus, to study harder indeed, is a good suggestion.
2) Overall, PSD (JPA) scholarship is still one of the main important sources for the students to pursue their studies. Human Resource (Sumber Insan) indeed, is priceless, and worth all the money can buy; especially, when living in Malaysia.

Selasa, Jun 15, 2010

hadiah 50 sen untuk guru

“Tak payahlah bagi hadiah untuk cikgu kali ini.” Kata ayah apabila saya memberitahunya bahawa kawan2 semua sudah ada hadiah untuk diberikan kepada cikgu kami pada hari terakhir sekolah. Ayah terus melukis tanpa memandang muka saya. Saya tidak menjawab. Saya faham, ayah tidak ada duit pada waktu itu.
Saya  memandang duit 50 sen dalam genggaman. Itulah saja yang ada dalam simpan saya. Apalah yang boleh dibeli dengan duit sebanyak itu. Rasa sedih, malu, rendah diri, semua menyelubungi perasaan. Kalaulah saya kaya, saya akan belikan hadiah besar untuk cikgu. Tinggal 3 hari lagi jamuan perpisahan. Semua rakan2 dalamkelas sibuk bercerita tentang hadiah untuk cikgu. Ada yang  membeli sendiri, ada yang berkongsi.
Semasa berjalan pulang dari sekolah dengan 2 orang  rakan sekelas, tiba2 kedua2 rakan itu masuk ke sebuah kedai di Pasar Minggu Kg. Baru. Saya menunggu saja di luar. Mereka membelek2 kerongsang dalam kedai itu.  Mereka berbisik2 berdua. Tiba2 salah seorang berkata, “Neli, awak nak kongsi beli hadiah, tak, utk cikgu?”
“Nak juga, tapi duit kita cuma ada 50sen.” Jawab saya dengan lurus.
“Harga kerongsang ni 12 ringgit. Kita orang tak cukup duit. Kalau awak bagi duit 50 sen tu nanti kita tulislah nama awak juga pada hadiah tu.” Katanya2 membuat saya gembira.
Saya menyeluk kocek baju sekolah dan memberikan duit 50 sen kepada kawan itu.
Saya pulang ke rumah dengan rasa lega. Besok saya bukanlah satunya2 anak murid yang tidak memberi hadiah kepada cikgu kelas. Biarlah cikgu tahu saya juga sayang dan menghargai jasanya. Hari itu semasa kawan2 rancak  bercerita tentang hadiah untuk cikgu, saya pun tidak rasa terasing lagi kerana sudah sama dengan mereka…..”Kita pun dah ada hadiah untuk cikgu. ”
Masa untuk murid2 menyampaikan hadiah masing2 sudah tiba. Cikgu menerima hadiah dari murid2 sambil membacakan nama pemberinya. Apabila menerima hadiah kerongsang, cikgu hanya menyebut nama 2 orang rakan saya. Kedua2 rakan itu menoleh kepada saya dan salah seorang berkata, “Awak cuma bagi 50sen, kami bagi 6 ringgit. Tak acilah nak tulis nama awak sama.”
Sedih bukan kepalang. Benarlah seperti yang saya jangkakan,  hari itu memang benar sayalah satunya2 anak murid yang tidak memberi hadiah kepada cikgu. Duit 50 sen yang berikan untuk membeli hadiah cikgu rupanya tidak ada harga. Saya hanya menundukkan muka kerana malu dan sedih.
Semasa menghulur tangan untuk salam perpisahan dengan cikgu, airmata saya berlinang tetapi masih mampu berkata,
“Maafkan saya cikgu. Saya tak beri apa2 pada cikgu. Saya janji akan belajar bersungguh sampai berjaya masuk universiti.” Cikgu cuma senyum.
Rupanya itu memang benar2 salam terakhir kami dan saya tidak pernah bertemu dengannya lagi. Cikgu tidak pernah tahu duit 50 sen untuk membeli kerongsang itu. Cikgu pun mungkin tidak pernah tahu apa yang saya capai selepas itu. Semuanya hasil rentetan pengalaman hidup sebagai pelajar miskin.  Biarlah ia menjadi kenangan dan pengajaran yang bermakna.
Apabila saya menjadi guru, saya berpesan kepada anak2 murid, “Jangan beli apa2 untuk cikgu. Cukuplah hadiahkan cikgu dengan doa dan usaha gigih kalian. Usaha gigih untuk cikgu, kejayaan untuk  kalian, puji-pujian untuk ibubapa. ”
Tetapi mereka masih memberi juga sehinggalah sekarang. Sudah berkotak2 hadiah kenangan2 dari murid2 yang tidak ada tempat sempurna untuk diletakkan.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Fikrah:-
1) Cikgu doakan anak-anak didik cikgu semua berada dalam keadaan terbaik dan sentiasa berusaha untuk menjadi hamba Allah dan Khalifah terbaik di atas muka bumi ini.
2) Perubahan ke arah kebaikan; niatkan setiap amalan ibadah perubahan baik itu untuk disedekahkan kepada guru kita, sebagai bekalan mereka di akhirat sana... 
3) 3 perkara yang akan dibawa sehingga ke alam kubur, iaitu doa anak soleh kepada kedua ibu bapanya, sedekah jariah, amalan ibadah yang bermakna dalam hidup. 

Isnin, Jun 14, 2010

Demam Bola; Pandangan Dr yusuf Qardhawi

Demam World Cup FIFA


FIFA World Cup Afrika Selatan bakal bermula Juma`at (11 Jun) selama 1 bulan penuh. rakyat Malaysia di jangka bersengkang mata untuk menyaksikannya saban malam...


apa kata Dr al-Imam Yusof Abdullah al-Qardhawi, Mujtahid nombor satu (YDP Persatuan Ulama Sedunia) mengenai bolasepak:

Bolasepak merupakan sukan yang tidak pernah dibahaskan oleh ulama' di masa lampau, kemungkinan ia belum wujud. Sekarang ia merupakan sukan nombor satu dunia, ia telah menyilau manusia, menguasai akal mereka, menyihir mata mereka serta menyita waktu dan pemikiran mereka...

Berikut adalah nasihat DYQ kpd peminat bolasepak:
Dari segi syara`, tiada larangan bermain bola atau menontonnya kerana bola tiada apa yg bertentangan dgn syara`. 
Ada dua perkara yg perlu diperhatikan:

1. Jangan mencuaikan kewajipan agama dan dunia; kewajipan agama yg paling penting ialah solat. Manakala kewajipan dunia ialah tugasan dan produktiviti bagi seorang pelajar, pekerja dan pegawai;

2. Jauhi apa jua yg bersifat berlebihan. Berlebihan dalam bolasepak ialah fanatisme atau taksub yg melampau. Berlebihan dalam bolasepak itu menjadikan ia counterproductive..
Dalilnya:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (٣١)
AQT7:31. [Wahai anak-anak Adam! Pakailah pakaian kamu Yang indah berhias pada tiap-tiap kali kamu ke tempat Ibadat (atau mengerjakan sembahyang), dan makanlah serta minumlah, dan jangan pula kamu melampau; Sesungguhnya Allah tidak suka akan orang-orang Yang melampaui batas.]

Juga dalil hadith:

فإن لجسدك عليك حقا ، وإن لعينك عليك حقا ، وإن لزوجك عليك حقا
الراوي: عبدالله بن عمرو بن العاص المحدث: البخاري - المصدر: صحيح البخاري - الصفحة أو الرقم: 5199
Terjemahnya:" sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu, dan matamu memiliki hak atas dirimu, dan isterimu memiliki hak atas dirimu.." HR Bukhori

Oleh itu, tontonlah bolasepak, tapi jgn berlebihan....

[Ref: DYQ, Fiqh Lahw, Maktabah Wahbah, Cairo: 2005]