Budayawan dan penyair terkemuka Indonesia W.S Rendra, yang juga mempunyai banyak peminat di Malaysia, meninggal dunia di sebuah hospital di sini malam tadi setelah lebih sebulan dirawat kerana penyakit jantung.
Media massa tempatan melaporkan Rendra, 74, yang juga dikenali “Si Burung Merak” meninggal dunia pada 10.15 malam tadi, dan meninggalkan 11 orang anak daripada tiga orang isteri, yang mana dua daripadanya sudah diceraikan.
Setelah memeluk Islam pada Ogos 1970 ketika menikahi isteri keduanya, Sitoresmi Prabuningrat, beliau menukar namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra daripada nama asalnya Willibrodus Surendra Broto Renda.
Selain sajak-sajaknya, Rendra juga dikenali ramai di Malaysia melalui filem bertema agama yang dilakoninya “Al Kautsar” pada tahun 1980-an.
Jenazah Allahyarham dijadual dikebumikan selepas solat Jumaat di Bengkel Teater, Citayam, Depok dekat sini, tidak jauh dari kubur sahabatnya, Mbah Surip, penyanyi reggae yang mendadak popular di Indonesia dengan lagu “Tak Gendong”, yang meninggal dunia Selasa lepas.
Rendra beberapa kali memperoleh anugerah dalam bidang sastera, antaranya Penghargaan Adam Malik pada 1989, SEA Write Award pada 1996 dan Penghargaan Achmad Bakri pada 2006.
— BERNAMA, JAKARTA 7 Ogos
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.Sajak Sebatang Lisong
(W.S Rendra)
( ITB bandung – 19 Ogos 1978 )
menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak – kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan – pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis – papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak – kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
..................................................................................................................
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana – sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung – gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes – protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair – penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
termangu – mangu di kaki dewi kesenian
bunga – bunga bangsa tahun depan
berkunang – kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta – juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
.........................................................................................................................
kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan?
*** Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta” yang disutradarai oleh Sumandjaya.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Fikrah:-1) Yang ditinggalkan kepada yang masih ada hanyalah ilmu dan garapan seni yang halus dan kebenaran yang tidak mampu dikotakan. Inilah realiti dunia.
2) Bukan Indonesia atau Malaysia yang menjadi kisahnya. Halnya adalah soal kehidupan, keadilan, dan keilmuan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan